Tanggamus — Suaradaerahnews.com
Selamat datang di Tanggamus, tempat kedisiplinan Aparatur Sipil Negara (ASN)—syukurlah—kini telah menemukan juru selamatnya: Sidik Jari Digital.
Pada Senin, 8 Desember 2025, Pemerintah Kabupaten Tanggamus secara heroik meluncurkan Aplikasi Absensi Fingerprint Online Terintegrasi. Sebuah terobosan monumental yang seolah menjadi pengakuan tulus bahwa masalah terbesar birokrasi kita selama ini bukanlah kualitas layanan, bukan inovasi, melainkan satu hal yang sangat elementer: kehadiran.
Sistem sidik jari biometrik ini—yang dielu-elukan sebagai bagian integral dari Transformasi Digital—sejatinya adalah pengingat yang sangat mahal. Bahwa para abdi negara ternyata masih membutuhkan borgol digital canggih hanya untuk memastikan mereka duduk di kursi kerjanya tepat waktu.
Ketika Disiplin Jadi Masalah Pokok Utama
Menurut Kepala Dinas Kominfo, sistem ini dirancang untuk "memperkuat sistem penilaian kinerja" dan dapat dipantau langsung dari Dashboard Eksekutif Bapak Bupati. Sebab, seolah-olah, tanpa sidik jari real-time, para ASN akan terus hidup dalam anarki absensi.
Bupati Tanggamus, Drs. Hi. Moh. Saleh Asnawi, MA., MH., dalam pidato peluncurannya menyampaikan pesan moral yang tinggi, yaitu: "Disiplin adalah kunci untuk mencapai hasil yang maksimal... Salah satu pilar pokok kedisiplinan yaitu KEDISIPLINAN WAKTU."
Pernyataan ini, sejujurnya, mengharukan sekaligus miris. Setelah sekian dekade reformasi, peningkatan tunjangan, dan pelatihan berbasis integritas, kedisiplinan waktu—bukan integritas, bukan inovasi—masih harus diangkat sebagai "hal pokok utama". Pernyataan tersebut secara tidak langsung mengonfirmasi bahwa citra ASN saat ini sedang dalam kondisi kritis dan sangat membutuhkan uluran tangan mesin sidik jari, sebuah fakta yang harus diterima sebagai tamparan keras bagi kemajuan mentalitas birokrasi.
Bupati juga mengajak untuk berkomitmen pada "Semangat BUDAYA KERJA JALAN LURUS." Sebuah slogan yang terdengar mulia, asalkan 'JALAN LURUS' yang dimaksud tidak mengarah langsung ke gerbang kantor tepat pada detik-detik akhir toleransi keterlambatan.
Peluncuran sistem ini, yang mencakup seluruh ASN, Non-ASN, hingga driver dan tenaga kebersihan, menunjukkan satu kesamaan di mata pemerintah daerah: potensi untuk mangkir. Jika ‘Disiplin’ adalah kunci, maka sistem fingerprint ini adalah alat kontrol yang memastikan kunci itu tidak hilang.
Realitas di Lapangan: Lubang di Level Kecamatan
Di balik narasi kesempurnaan dan klaim full-integrated, terselip pengakuan yang mengungkapkan celah yang signifikan: untuk tingkat Kecamatan, infrastruktur jaringan dan integrasi perangkat fingerprint masih dalam "tahapan penyelesaian."
Jadi, sementara para pejabat tinggi di pusat sudah diikat oleh benang digital, aparatur di garda depan pelayanan—Camat dan Lurah—rupanya masih ditoleransi untuk menggunakan metode absensi lama. Tentu saja, "dilakukan secara bertahap dan terkoordinasi" adalah frasa indah yang selalu menyertai proyek digitalisasi yang belum sepenuhnya siap.
Pertanyaannya sederhana: Seberapa akurat data kinerja yang ditampilkan Bapak Bupati jika separuh wilayah (level kecamatan) masih menjadi area abu-abu digital? Kita hanya bisa berasumsi bahwa, dalam birokrasi, setengah akuntabilitas dianggap lebih baik daripada tidak sama sekali.
Lompatan Kuantum SPBE: Apakah Kualitas Ikut Melompat?
Laporan kadis Kominfo Suhartono dengan bangga menyajikan data peningkatan Indeks Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) Tanggamus.
Dari level "Kurang" di tahun 2021 ke klaim "Sangat Baik" di tahun 2025. Ini adalah lompatan kuantum yang fantastis, layak diabadikan dalam museum birokrasi. Apalagi ditambah Penghargaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai Kabupaten Terbaik dalam penerapan Transformasi Digital di Provinsi Lampung.
Namun, pertanyaannya tetap fundamental dan kritis: Apakah kenaikan angka indeks ini berbanding lurus dengan peningkatan kualitas layanan publik yang dirasakan oleh warga Tanggamus?
Atau, apakah kita hanya menyaksikan keberhasilan membangun infrastruktur fisik (jaringan internet terpadu, Tim CISRT Keamanan Siber) yang lebih sering dinikmati oleh para ASN itu sendiri, sementara mentalitas pelayanan publik yang sesungguhnya masih terperangkap di tahun 2000-an?
Solusi Teknologi untuk Masalah Moral
Kata kunci utamanya adalah mentalitas kerja (mindset). Jelas terlihat bahwa pembuat sistem ini adalah tim teknis Bidang E-Government Kominfo dan BKPSDM—mereka adalah Penggagas yang pantas diberi apresiasi. Tetapi, sistem absensi fingerprint adalah upaya korektif terhadap gejala buruknya disiplin, bukan upaya kuratif terhadap penyakit mentalitas kerja dan integritas dasar seorang profesional. Kolaborasi 'jenius' antara BKPSDM dan Dinas Kominfo berhasil merancang solusi teknologi untuk masalah yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan integritas diri, sebuah pencapaian luar biasa dalam memecahkan masalah non-teknis dengan cara yang sangat teknis.
Jika teknologi secanggih ini hanya berujung menjadi alat untuk memastikan ASN datang dan pulang tepat waktu (karena takut gaji dipotong), bukankah ini hanya penambah daftar panjang formalitas digital? Akuntabilitas sejati tidak diukur dari scan sidik jari, tetapi dari hasil kerja, inovasi, dan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Tanggamus kini telah resmi men-sidik-jari dirinya ke dalam janji digital. Kita tunggu, akankah janji ini terwujud sebagai akuntabilitas sejati, atau sekadar alibi birokrasi baru yang dibungkus data real-time dan Indeks SPBE yang tinggi. ( Mustakim )


